Suara Dari Loteng
Pada tahun 2007, seorang wanita muda bernama Mira tinggal sendirian di sebuah rumah kecil warisan neneknya di pinggiran Salatiga. Rumah itu tua, berdinding kayu jati tebal, dan memiliki loteng yang tidak pernah dia buka. Neneknya pernah berpesan, “Jangan ganggu loteng. Biarin aja dia tenang di sana.”
Mira baru saja pindah ke rumah peninggalan neneknya di pinggiran Salatiga. Rumah itu berdiri sejak zaman kolonial—dinding kayu jati, jendela tinggi berjeruji besi, dan loteng yang tidak pernah dibuka. Saat neneknya masih hidup, Mira sempat bertanya tentang loteng itu.
"Jangan pernah buka," jawab sang nenek pelan. "Biarkan tetap tertutup."
Saat itu, Mira mengira hanya mitos atau larangan orang tua. Tapi sejak tinggal sendirian, rumah itu terasa... hidup. Bukan dengan cara yang hangat—tapi seolah mengamati. Mengawasi.
Di minggu kedua, gangguan mulai terasa. Setiap pukul 02.00 dini hari, terdengar langkah pelan dari langit-langit. Tidak seperti suara tikus—langkah itu berat dan berirama. Seperti seorang anak kecil... berjalan bolak-balik.
Mira mencoba mengabaikannya, meyakinkan diri bahwa itu hanyalah suara pohon atau binatang kecil. Tapi setiap malam, suara itu datang kembali. Selalu di jam yang sama. Selalu di atas ruang tengah. Dan setiap kali Mira mencoba mengeceknya, suara itu langsung menghilang.
Sampai suatu malam, Mira menyiapkan ponsel dan merekam suara di ruang tengah, membiarkannya menyala hingga subuh.
Pagi harinya, ia mendengar hasil rekaman. Di menit ketiga, suara langkah terdengar jelas. Tapi yang membuat darahnya membeku adalah... tangisan. Pelan, menahan isak. Tangisan anak kecil. Diikuti oleh suara bisikan samar:
"Sudah gelap... buka pintunya..."
Hari berikutnya, Mira memberanikan diri untuk melihat loteng. Ia naik ke kursi kayu, membuka penutup kecil di langit-langit ruang tengah. Udara pengap langsung menyergap. Aroma debu, kayu lapuk, dan... amis. Ia mengarahkan senter ke dalam.
Awalnya hanya terlihat debu dan jaring laba-laba. Tapi di pojok, terlihat sesuatu yang menyerupai boneka bayi duduk membelakangi Mira, menghadap tembok. Ia mengenakan baju bayi yang kotor, lusuh, dan menghitam di beberapa bagian.
Tepat di sebelahnya ada gundukan kain basah. Ketika senter Mira sedikit bergeser, boneka itu... menoleh.
Mira jatuh dari kursi dan menjerit. Tapi saat ia menatap ke atas lagi, loteng itu sudah gelap kembali—seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Keesokan harinya, Mira memanggil Pak Harto, tetangga yang sudah tinggal di sebelah rumah itu sejak muda.
Saat Mira menyebut tentang loteng, wajah Pak Harto berubah. Ia menghela napas panjang.
"Rumah itu pernah dihuni oleh adik ibumu, Mira. Namanya Sari. Tapi dia... tidak pernah keluar rumah. Dia cacat sejak lahir. Nenekmu menyembunyikannya di loteng, katanya supaya 'tidak membuat malu keluarga'."
Mira terdiam. Ia bahkan tidak tahu punya tante.
"Suatu malam, rumah itu kebakaran kecil. Api padam sendiri... tapi sejak itu, Sari tidak pernah terlihat lagi."
Malam itu, Mira tidak bisa tidur. Pukul 02.00 dini hari, suara langkah terdengar lagi. Tapi kali ini, lebih keras. Lebih dekat. Dari dalam loteng, terdengar suara goresan... seperti kuku menggaruk lantai kayu.
Kemudian suara itu berhenti.
Mira memandangi lubang loteng yang terbuka sedikit... dan melihat dua tangan kecil, pucat, tergantung di ujung lubang. Diam.
Suara kecil berbisik dari atas:
"Aku... dingin..."
Mira lari keluar rumah. Sejak malam itu, dia tidak pernah kembali.
Penutup Suara Dari Loteng: Beberapa minggu kemudian, pemilik kontrakan rumah yang baru memanggil tim renovasi untuk memperbaiki atap. Saat membuka loteng, mereka menemukan tulang belulang kecil, dibungkus selimut bayi yang masih utuh di sebagian sisi.
Pihak kepolisian menyimpulkan itu adalah sisa jasad anak yang sudah terkubur puluhan tahun. Tapi bagaimana dia bisa berpindah posisi... dan bagaimana suara itu tetap terdengar, tak ada yang tahu.